Lincah dan penuh semangat, itulah kesan awal saat kita menyaksikan tari Kubrosiswo, salah satu tari-tarian yang turun temurun diajarkan pada warga di sekitar lereng gunung Merapi. Berbeda dengan tari-tarian khas Yogyakarta lainnya, tari Kubrosiswo gerakannya sangat dinamis. Padahal, umumnya, tari-tarian khas Yogyakarta tergolong lemah gemulai.
Konon, tari Kubrosiswo ini berasal dari daerah di sekitar Candi Mendut dan kemudian menyebar ke berbagai pelosok lereng gunung Merapi. Sayang, hingga saat ini, tidak ada catatan yang bisa memastikan kapan tari Kubrosiswo ini pertama kali dipentaskan.
Yang pasti, jika ditilik dari isi pesan yang disampaikan, jelas, tari Kubrosiswo merupakan kesenian tradisional berlatar belakang penyebaran agama Islam di pulau Jawa, dimana Kubro berarti besar, dan siswo berarti siswa atau murid. Dua kata ini merujuk pada kalimat murid Tuhan, yang diimplementasikan dalam pertunjukan seni yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan.
Di samping itu, kata Kubro juga singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), yakni kesenian yang menjadi sarana bagi umat islam agar menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.
Umumnya, kesenian tari Kubrosiswo ini dipentaskan pada malam hari, dengan durasi kurang lebih 5 jam dan ditampilkan secara massal, dengan musik pengiring mirip dengan lagu perjuangan dan qasidah yang liriknya sesuai dengan misi dakwah dan syiar Islam.
Dalam lagu yang di dendangkan, terdapat beberapa pesan-pesan dakwah. Pesan yang diharapkan mampu mempengaruhi jiwa positif para penonton, terutama dalam hal pengetahuan keagamaan dan spiritual.
Kesenian ini diiringi dengan alat musik bende, serta tiga buah dodok dan jedor. Uniknya, dandanan para penari seperti tentara pada jaman keraton dahulu, tapi dari pinggang kebawah memakai dandanan ala pemain bola, lengkap dengan pluit yang dipegang oleh kapten tim.